Piagam Jakarta adalah dokumen historis berupa kompromi antara pihak Islam dan pihak kebangsaan dalam Badan Penyelidik Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI) untuk menjembatani perbedaan dalam agama dan negara. Disebut juga "Jakarta Charter". Merupakan piagam atau naskah yang disusun dalam rapat Panitia Sembilan atau 9 tokoh Indonesia pada tanggal 22 Juni 1945. Piagam ini disusun karena wilayah Jakarta yang besar, meliputi 5 kota dan satu kabupaten, yaitu Jakarta Pusat, Jakarta Barat, Jakarta Timur, Jakarta Utara, Jakarta Selatan, dan Kepulauan Seribu. Oleh karena itu, provinsi DKI Jakarta dibentuk dengan piagam tersebut dan menetapkan Soewirjo sebagai gubernur DKI Jakarta yang pertama sampai 1947.
Sembilan tokoh tersebut adalah:
- Ir. Soekarno
- Mohammad Hatta
- Sir A.A. Maramis
- Abikoesno Tjokrosoejoso
- Abdul Kahar Muzakir
- H. Agus Salim
- Sir Achmad Subardjo
- Wahid Hasyim
- Sir Muhammad Yamin.
Sejak Pancasila disepakati sebagai ideologi negara RI sampai sekarang tercatat ada lima rumusan resmi:
Rumusan Pertama terkandung dalam Piagam Jakarta yang ditetapkan pada 22 Juni 1945. Rumusan Kedua dalam Pembukaan UUD 45 yang ditetapkan pada 18 Agustus 1945. Rumusan Ketiga dalam Mukadimah Konstitusi R. I. S. (Republik Indonesia Serikat) yang ditetapkan pada 27 Desember 1949. Rumusan Keempat dalam Mukadimah UUD Sementara, ditetapkan pada 15 Agustus 1950. Rumusan Kelima yang berlaku hingga sekarang ditetapkan melalui Dektrit Presiden 5 Juli 1959. Rumusan kelima ini sama dengan rumusan kedua, namun dengan tambahan keterangan ”dijiwai oleh semangat Piagam Jakarta” sebagaimana dikemukakan Bung Karno yang kala itu adalah Presiden RI.
Rumusan Pertama
- Ketuhanan dengan kewajiban menjalankan syariat Islam bagi pemeluknya
- Kemanusiaan yang adil dan beradab
- Persatuan Indonesia
- Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan perwakilan
- Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.
Rumusan Kedua
- Ketuhanan Yang Maha Esa
- Kemanusiaan yang adil dan beradab
- Persatuan Indonesia;
- Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan perwakilan (catatan: untuk itulah dibentuk MPR yg bertugas memilih presiden dan wakil presiden, tak perlu pemilihan langsung}
- Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.
Rumusan Ketiga
- Ketuhanan Yang Maha Esa;
- Peri-Kemanusiaan;
- Kebangsaan;
- Kerakyatan;
- Keadilan sosial.
Rumusan Keempat
- Ketuhanan Yang Maha Esa;
- Perikemanusiaan
- Kebangsaan
- Kerakyatan;
- Keadilan sosial.
Rumusan Kelima
Sama dengan Rumusan II, dengan catatan bahwa sila-sila yang dikandung di dalamnya dijiwai oleh semangat Piagam Jakarta seperti ditegaskan Presiden Sukarno. Khususnya berkenaan sila Ketuhanan Yang Maha Esa.
Perubahan Sila Pertama
Sebagaimana kita ketahui usul para wakil golongan nasionalis Islam dalam sidang terakhir BPUPK sangat berpengaruh dalam menyusun Piagam Jakarta 22 Juni 1945. Dalam sidang terakhir yang beranggotakan 9 orang itu, terdapat 4 orang wakil golongan nasionalis Islam. Golongan nasionalis sekuler: Sukarno, Mohamad Hatta, A. A. Maramis, Ahmad Subardjo dan Mohamad Yamin. Golongan nasionalis Islam: Abikusno Tjokrosujoso, Abdul Kahar Muzakkir, Hají Agus Salim dan A. Wahid Hasjim.
Meskipun sila pertama kemudian dirubah menjadi Ketuhanan Yang Maha Esa, menurut Nijwenhuijze, seorang sarjana Belanda, sila tersebut berasal dari golongan nasionalis Islam. Begitu pula Hazairin dalam bukunya Demokrasi Pancasila (Jakarta 1970:58) menyatakan bahwa istilah tersebut hanya mungkin berasal dari kebijaksanaan dan iman orang Indonesia yang beragama Islam. Khususnya sebutan Yang Maha Esa, yang dapat dikaitkan dengan seburtan Allahu al-wahidu al-Ahad(Allah Yang Satu dan Esa).
Pernyataan kedua sarjana tersebut dapat dihubungkan dengan pernyataan Profesor Supomo S. H. Dalam pidatonya 31 Mei 1945 dalam sidang BPUPK Prof. Supomo membedakan bahwa ada dua gagasan tentang negara yang dikemukakan dalam BPUPK, yaitu gagasan “Negara Islam” dan gagasan “Negara berdasarkan cita-cita luhur dari agama Islam”. Menurut Supomo:
Dalam negara yang tersusun sebagai “Negara Islam”, negara tidak bisa dipisahkan dari agama.Negara dan agama ialah satu., bersatu padu… dan hukum syariat itu dianggap sebagai perintah Tuhan untuk menjadi dasar untuk dipakai oleh negara.”
Supomo menganjurkan agar negara Indonesia tidak menjadi negara Islam, tetapi menjadi “negara yang memakai dasar moral yang luhur yang dianjurkan juga oleh agama Islam”. Alasan Supomo diterima oleh banyak nasionalis Islam, karena itu untuk sementara waktu perubahan rumusan sila pertama Pancasila dalam Piagam Jakarta tidak lagi mencantumkan kata-kata “dengan kewajiban menjalankan syariat Islam bagi pemeluknya” dan diganti dengan kata-kata “Yang Maha Esa”.
Tetapi perdebatan tentang hal tersebut muncul kembali pada tahun 1950-1959, dan pada setelah lengsernya Presiden Suharto dan munculnya Reformasi pada tahun 1998 sampai sekarang.
Sumber : Google (Saya tidak tau untuk sumber penulisan ini tapi jika diantara kalian ada yang tau silahkan beritahu saya lewat email annrwinz@gmail.com)